PERBEDAAN KAUM SEKULAR DENGAN ULUL ALBAB


IMG1090AOleh: ASEP SOBIRIN*

Seiring arus globalisasi yang datang begitu dahsyat dan derasnya dari Barat, maka materialistik, liberalistik dan sekularistik-pun ikut hanyut mengiringi perjalanannya, mewarnai paradigma, dan merubah tingkah laku umat manusia, tak terkecuali kaum muslimin di seantero jagat raya. Dengan melihat fenomena tersebut, maka seyogyanya kaum muslimin menyadarinya dan melakukan filter dengan fitrah keislaman; serta dibarengi dengan keimanan dan ketaqwaan. Jangan sampai kita menggadaikan aqidah untuk kehidupan dunia yang fana ini; apalagi menjual ayat-ayat Allah swt untuk kepentingan syahwat perut dan bawah perut, Allah swt mengingatkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah [2] ayat 41:  “…dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah…”.

Mari kita mengambil ibrah dari umat-umat terdahulu dalam al-Qur’an,[1] yaitu mereka yang arogan dan takabur; mereka yang tidak ingat bahkan tidak percaya adanya Sang Pencipta (Khaliq). Mari kita renungkan bagaimana mereka dihancur-leburkan, ditenggelamkan dalam lautan, dan atau dalam perut bumi, dan lain sebagainya. Mari kita tengok firman Allah swt: “dan (juga) Karun, Fir’aun dan Haman. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu).” (QS Al ‘Ankabuut [29]: 39)

Oleh sebab itu kita harus berbeda dengan kaum sekularis, yang hanya mengejar kemajuan tersebut, tanpa percaya akan “intervensi” Allah Swt. Apakah mereka (kaum sekular) tidak mengenal Karun yang dibenamkan dalam tanah dengan segala kekayaan, yang menjadi simbol kesombongannya, Allah swt berfirman: “Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: “Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.” (QS Al Qashash [28]: 76).

Maka inilah sikap orang sekular tempo dulu dalam berargumen, Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (QS Al Qashash [28]: 78). Dan inilah balasannya bagi orang materialistik tempo dulu: “Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya)”. (QS Al Qashash [28]: 81).

Dan begitu pula orang besar lainnya, yang angkuh lagi sombong, yaitu Fir’aun yang ditenggelamkan bersama dengan segala atribut kebesarannya (baca: arogansi), yang jauh-jauh hari mengaku jadi Tuhan: “Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan” (QS Al Baqarah [2]: 50). Begitu pula Haman, cendikiawan sekaligus arsistekturnya fir’aun (40:37) tak luput dari kehancuran (QS 29 : 39).

Itulah kaum sekuler tempo dulu yang dimusnahkan oleh Allah swt, hendaklah itu jadi cerminan bagi kita, pada umumnya; dan bagi para penguasa, pengusaha dan cendikiawan lebih khususnya, supaya kita lebih hati-hati dalam melangkah (baca: mengambil kebijakan) dan berpijak (baca: worldview). Oleh sebab itu dalam setiap ruang dan waktu kita harus mengingat Allah swt, agar semua aktifitas kita senantiasa tidak melenceng dari rel-Nya; kita harus selalu terjaga; bahwa sikap ihsan harus menjadi cctv yang selalu mengawasi dan terasa terawasi oleh-Nya. Dan inilah yang membedakan antara kaum sekuler dengan ulul albab,  firman Allah swt:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulul Albab), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali ‘Imran [3]: 190-191).

Ulul AlbabDalam ayat diatas (QS Ali-Imran: 190) ulul albab merenungkan ciptaan Allah swt, yaitu: langit dan bumi; merenungkan akan ke-Maha Kuasaan Allah dalam penciptaan tersebut; yaitu: langit yang menjulang tinggi dan kokoh; serta hamparan bumi yang begitu luas, tempat kita pijak; tempat berpenghuninya milyaran umat manusia. Allah swt menjaga dan menggerakannya, dan dalam ciptaan keduanya (langit dan bumi) terdapat tanda-tanda kekuasaan; peredaran bintang-bintang dan planet-planet, lautan yang kaya akan ikan, gunung-gunug yang ditancapkan, dan pohon-pohon, tanaman-tanaman, buah-buahan yang beraneka ragam, binatang-binatang, hewan-hewan ternak, dan sumber daya alam lainnya, yang kesemuanya itu sangat bermanfa’at bagi kehidupan manusia, untuk tetap survive, dan ini semua sebagai alat, guna mencapai tujuan, yaitu beribadah kepada-Nya untuk mencapai mardotillah. Begitu pula dengan hembusan angin dan awan yang menaungi, serta silih bergantinya malam dan siang, yang semuanya itu adalah ketentuan dari Yang Maha Gagah lagi Yang Maha Mengetahui.

Dan itu semua bagi orang-orang yang berakal (Ulul Albab) yaitu Akal-akal yang sempurna; akal yang suci; akal yang ingin tahu segala sesuatu dengan hakikat-hakikatnya, dan bukan bagi orang-orang yang tidak berakal, yaitu : orang yang tuli dan bisu terhadap kebenaran (walaupun mereka menamakan dirinya sebagai cendekiawan). Siapa yang dimaksud dengan ulul albab (orang-orang yang berakal)? diantara ciri ulul albab diterangkan dalam ayat selanjutnya (QS Ali-Imran: 191), yaitu: Pertama, orang yang selalu ingat kepada Allah swt (dzikir), Firman-Nya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring,” sebagaimana sabda Nabi saw kepada `Imran bin Hushain: “Shalatlah kamu sambil berdiri, dan jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk, dan jika tidak mampu, maka dengan berbaring”. (HR Shohihaen).[2] Yaitu mereka yang selalu dzikir (ingat) kepada-Nya dalam seluruh keadaan, baik dengan hati, lisan maupun dengan amal.[3]

Kedua, orang yang selalu memikirkan terhadap cipataan-ciptaan-Nya (Tafakur). Firman-Nya: “dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi”, yaitu mereka merenungi, sehingga mereka faham terhadap rahasia yang ada dibalik penciptaan langit dan bumi tersebut, dan ini tentunya atas petunjuk Sang Pencipta (Khaliq), dengan segala Kekuasaan-Nya; Keluasan Ilmu-Nya; Kebijaksanaan-Nya, dan Rahmat-Nya.

Mengenai keutamaan fikir ini banyak sekali di ungkapkan oleh para Ulama-ulama shalaf dan para cendikiawan, bahkan sudah terbukti secara empiris, bagaimana kaum pemikir ini melakukan riset dan temuan-temuan ilmiah, sehingga pada zaman sekarang ini, semuanya serba modern dan canggih.[4] Berpikir berarti umat Islam mesti terus menuntut ilmu setinggi mungkin, supaya mereka cerdas, setelah mendapatkan ilmu, maka mengamalkannya, melakukan riset, lalu mengajarkannya. Dan hendaklah perut itu diisi dengan 1/3 untuk makan, 1/3 untuk minum, dan sisakan 1/3 nya lagi untuk bernafas, yaitu untuk berfikir. Maka dari ayat tersebut terungkap, bahwa umat Islam seyogyanya memadukan antara dzikir dan pikir, sehingga ada keseimbangan. Bila dzikir saja tanpa pikir, maka akan selamanya umat Islam menjadi inferioritas. Dan bila pikir saja tanpa dzikir, maka umat Islam akan menjurus kepada sekularistik dan materialistik, dan itu menyimpang dari aturan-aturan Allah swt.

Dan inilah yang membedakan ulul albab dengan orang-orang sekuler dan liberal, mereka (ulul Albab) senantiasa berdo’a: “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau”. Dan ini pula yang membedakan ulul albab dengan orang-orang Atheis, mereka (ulul albab) selalu berdo’a: “maka peliharalah kami dari siksa neraka”. Dan ini artinya juga, supaya Allah swt memasukannya ke dalam surga. Maka dengan lahirnya ulul albab ditengah umat yang sekarang diserang virus sepilis (sekularisme,  pluralisme dan liberalisme), diharapkan bermunculan cendekiawan-cendikiawan muslim yang lurus dan intelektual muslim yang mengkanter virus sepilis ini. Bersaksilah dan beraksilah wahai ulul albab, berilah peringatan dengan al-Qur’an dan penafsiran yang hak, bukan hermeneutika, katakanlah bahwa Allah  itu tunggal dan bantahlah pluralisme dan multikulturalisme[5], guna menjunjung tinggi izzatul Islam wal Muslimin.

Wallahu’alam.


* Bid. Pendidikan PW. Pemuda Persis Jawa Barat

[1]  Baca QS Yusuf ayat 111

[2]  Tafsir Ibn Katsier: I, hlm. 396

[3]  Dalam ayat yang lain (QS 39:75), mereka yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, dan  takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Allah.

[4]  Kemajuan peradaban yang sekarang dikuasai oleh Barat adalah merupakan peminjaman dari kemajuan peradaban Islam sebelumnya.

[5]  Allah swt berfirman: (Al Qur’an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. (QS 14 : 52)

Tinggalkan komentar