Pluralisme Dalam Islam


Oleh : Syamsul Arafat*

Istilah pluralisme merupakan sebuah istilah yang banyak didengar dewasa ini. Banyak ilmuwan dan Pemikir yang membahas dan memasarkan istilah ini kepada masyarakat. Menurut mereka paham ini sangat cocok di kembangkan di Indonesia, dikarenakan kondisi masyarakatnya yang plural (sangat beragam dalam segala hal terutama agamanya). Menurut Adnin Armas, Paham ini mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Kebenaran adalah milik bersama. Dalam setiap agama terdapat kebenaran. Banyak jalan menuju kebenaran. Oleh sebab itu, Islam bukanlah satu-satunya jalan yang sah menuju kepada kebenaran.[1]

Karena bukan Islam jalan satu-satunya kebenaran, maka paham ini menjamin apapun agamanya pasti akan membawanya menuju Tuhan yang berakhir mendapatkan syurganya. Yang menyebabkan seseorang masuk syurga  bukan apa agamanya tapi apa kebaikan yang telah dia perbuat. Semakin banyak seseorang berbuat baik maka akan semakin besar  peluang dia mendapatkan syurga, tak peduli apapun agamanya. Diantara orang yang mempunyai pemikiran seperti itu adalah Prof. Dr.  Munir Mulkhan, dia menyatakan : “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri, terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap Agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.[2]

Sementara itu MUI mempunyai pendapat lain mengenai paham ini. Melalui fatwanya yang dikeluarkan dalam MUNAS ke 7  tahun 2005, MUI telah dengan tegas menyatakan bahwa Pluralisme merupakan paham yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan melarang kepada segenap umat Islam untuk mengikuti apalagi mengamalkan paham ini. Argumentasi MUI melarang paham ini adalah ayat-ayat al Qur’an, seperti “barang siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu), dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi”[3] . Dan “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam[4]. Dan “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku”.[5]

Selain ayat al Qur’an argumentasi lainnya adalah Hadits Rosulullah saw. Imam Muslim (w 262 H) dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan hadits Rosulullah saw : “Demi zat yang menguasai jiwa Muhamad, tidak ada seorangpun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia mati akan menjadi penghuni neraka.”. Begitu juga Nabi mengirimkan surat-surat Dakwah kepada orang-orang non muslim, antara lain kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-najasyi raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, dimana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam (Hadits Riwayat Ibnu Sa’ad dalam al-Thabaqat al-Kubra dan imam al Bukhari dalam Shahih al Bukhari).

Antara Pluralisme dan Pluralitas

Melalui fatwa MUI ini maka dengan tegas menyatakan bahwa umat Islam harus meyakini bahwa agamanyalah yang paling benar. Hanya Islamlah yang akan membawa penganutnya kepada jalan keselamatan. Hanya Islam yang diridloi Allah swt yang dengannya menjadi jaminan seseorang masuk syurga. Yang perlu dicatat, sikaf eksklusif umat Islam ini terhadap orang kafir adalah hanya dalam hal yang bersifat Aqidah dan Ibadah. Dan tidak berlaku dalam urusan mu’amalah dan masalah-masalah sosial lainnya. Karena dalam fatwanya MUI pun mengakui Pluralitas (keberagaman agama) dalam suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu, dalam hal ini MUI tetap menganjurkan umat Islam agar bersikap inklusif, dalam arti untuk masalah sosial yang tidak terkait Aqidah dan Ibadah, umat Islam dianjurkan tetap melakukan pergaulan sosial dengan agama lain sepanjang tidak merugikan.

Pluralisme sendiri bukanlah paham yang lahir dalam diskursus keislaman. Dalam penelitian Syamsudin Arif, paham ini merupakan turunan  dari paham Relativisme. Menurutnya, fakta bahwa agama yang ada didunia ini sangat banyak telah melahirkan dua aliran pemikiran besar, yaitu skeptisisme dan relativisme. Kaum skeptis menyatakan bahwa beragamnya agama tersebut menjadi pembenar bahwa kebenaran dalam agama itu tidak ada. Sementara kaum relativis berpendapat sebaliknya, bahwa beragamnya agama merupakan sebuah fakta bahwa kebenaran itu tidak satu, ia ada pada setiap agama.

Lebih lanjut, kaum relativis ini memiliki tiga aliran pemikiran, yaitu esensialisme, sinkretisme, dan pluralisme. Esensialisme menyatakan bahwa semua agama pada esensinya sama, percaya pada ketuhanan. Bedanya hanya pada bentuk formalnya saja. Sementara Sinkretisme, melangkah lebih jauh dengan mencoba menyatukan agama-agama dalam satu format keagamaan. Contohnya sikhisme di india, baha’isme di iran, caudaisme di Vietnam, atau semacam aliran-alian kebatinan.

Adapun Pluralisme mengakui bahwa agama itu sama dalam porsinya masing-masing. Dengan kata lain, mengakui persamaan dalam perbedaan. Sama-sama benar dalam posisi dan kedudukannya masing-masing.[6] Semua keyakinan dan paham ini bertentangan dengan konsep Islam yang telah dirumuskan dan menjadi Fatwa MUI diatas. Dan menunjukan bahwa Pluralisme bukan  merupakan paham yang lahir dari Islam bahkan justru bertentangan dengan Islam.

Meskipun pluralisme ini bukan berasal dari Islam, tapi kaum pluralis mencari legitimasinya dari ayat-ayat al Qur’an. Mereka mengakalinya sehingga terkesan al Quran pun mendukung terhadap paham ini. Ayat al Qur’an yang sering dijadikan rujukan mereka adalah QS al Baqarah ayat 62 :

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحاً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Menurut kaum pluralis, ayat ini merupakan pendukung pendapat mereka yang menyatakan bahwa semua agama benar. Apapun agamanya asal beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal shaleh maka mereka tidak perlu khawatir dan bersedih hati, yang itu artinya mendapat ridlo Allah swt.

Namun, pendapat ini jelas keliru. Karena konsep beriman kepada Allah swt dan beramal shaleh  dituntut sebuah totalitas dan tidak parsial. Tidak boleh orang yang mengaku beriman kepada Allah tapi tidak mengakui Rosulullah saw sebagai Nabi-Nya, dan atau tidak meyakini al Qur’an sebagai wahyu-Nya. Orang yang mengaku beriman kepada-Nya pasti akan mengerjakan setiap perintah-Nya termasuk mengakui dan mentaati Rosulullah saw sebagai utusan-Nya, dan meyakini al Qur’an sebagai wahyu-Nya.

Pandangan Islam tentang Keberagaman (pluralitas)

Allah swt melalui wahyunya telah memberikan petunjuk yang jelas tentang bagaimana seharusnya seorang hamba berinteraksi dengan sesamanya. Begitu juga hal ini telah di contohkan oleh utusan-Nya Muhamad saw. Dan fatwa MUI di atas dirasa telah cukup untuk mewakili bagaimana sebenarnya Islam mengajarkan umatnya menyikapi masalah pluralitas.

Dalam hal Aqidah dan Ibadah, umat Islam diperintahkan untuk tidak berkompromi dengan orang kafir. Umat Islam dilarang meyakini kebenaran agama lain selain Islam. Umat Islam dilarang juga mencampuradukan konsep peribadahan dengan agama lain diluar Islam (sinkretisme). Diantara ayat al Qur’an yang membahas masalah ini adalah QS al kaaFirun [109] : 1-6;

قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)

“Katakanlah: Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Dari awal sampai akhir ayat diatas dengan sangat jelas melarang umat Islam melakukan kompromi Aqidah dan ibadah dengan orang-orang kafir. Umat Islam diperintahkan untuk mengatakan kepada orang kafir bahwa kita bukanlah penyembah dan tidak akan pernah menjadi penyembah apa yang mereka sembah. Sebaliknya, orang kafir bukanlah penyembah dan tidak akan pernah menjadi penyembah apa yang orang Islam sembah.

Imam Ibnu Jarir dalam tafsirnya meriwayatkan Hadits yang menjadi asbabu  nuzul ayat ini, Yaitu: Menurut Ibnu Abas, bahwa orang Quraisy pernah menawarkan kepada Rosulullah saw harta yang banyak sehingga beliau akan menjadi orang yang paling kaya di Mekah. Bahkan beliau boleh memilih perempuan Quraisy yang mana saja untuk dinikahi dengan syarat tidak lagi mencaci maki Tuhan-tuhan yang mereka sembah.

Jika beliau menolak kesepakatan itu, maka orang Quraisy menawarkan kesepakatan lain yaitu mereka akan beribadah kepada Tuhan Muhamad selama satu tahun dan Muhamad pun harus beribadah kepada tuhan mereka selama satu tahun penuh. Menurut Ibnu Abas, kepada ajakan kaum Quraisy ini Rosulullah saw tidak langsung memberikan jawaban sehingga turun Qur’an Surat al Kaafirun ayat satu sampai enam.[7]

Penolakan Rosulullah saw kepada ajakan Quraisy diatas menunjukan bahwa tidak ada kompromi bagi umat Islam dengan agama lain dalam hal Aqidah dan Ibadah. Namun, Rosulullah saw juga mengajarkan tetap berkompromi dan bergaul dengan masyarakat diluar agama Islam dalam hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan. Rosulullah saw tetap berinteraksi (inklusif) dan tidak menutup diri (eksklusif) dengan orang-orang diluar agama Islam.

Diantaranya Rosulullah saw pernah menggadaikan baju besinya kepada orang yahudi. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh siti A’isyah: “Bahwa Rosulullah saw pernah membeli makanan kepada orang yaudi dengan menggadaikan baju besinya” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).  Hal ini menunjukan bahwa Islam mengakui Pluralitas dan menolak pluralisme, sebagaimana kata Adnin Armas, merupakan sebuah paham syirik kontemporer. Wallahu ‘Alam.


* Bidang Kaderisasi PW. Pemuda Persis Jawa Barat

[1] Adnin Armas, Pluralisme : Sebuah Paham Syirik Kontemporer. Hal.1

h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m

[2] Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Yogjakarta: Kreasi Wacana, 2002, hal. 44

[3] QS. Ali Imran [3] : 85

[4] QS. Ali Imran [3] : 19

[5] QS al kaafirun [109] : 6

[6] Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Intelektual, hal. 80-83. Dalam Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, hal. 68-69.

[7] Ibnu Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan. Dalam Maktabah Syamilah.

11 Comments

  1. Terima kasih Ustadz, semoga bermanfaat bagi kita semu8a, khususnya untuk saya dalam upaya menambah pengetahuan, wawasan serta pemahaman, Amin

    Balas

  2. pluralisme memanggap semua agama adalah benar. Jika semua benar maka kebenaran itu tidak ada, kebenaran harus ada standar penilaian yaitu salah. disinilah letak kesesatan pluralisme yang selalu disembunyikan para penganut faham ini. mereka mengaburkan antara toleransi dan pluralisme. titik tertinggi pluralisme meniadakan agama, yang utama adalah berbuat baik, karena semua agama adalah benar maka sama saja memeluk agama atau tidak asalkan berbuat baik. sementara toleransi adalah menghargai perbedaan2 antara agama yang satu dengan yang lain,bukan mengakui agama yang lain benar. toleransi bertolak belakang dengan pluralisme. Toleransi menganggangap agama lain adalah salah tapi tetap menghargai dan menghormati umat yang menyakini agama tersebut.
    marilah kita sama2 memerangi faham ini, dengan faham inilah pintu masuk aliran2 yang menyesatkan masuk ke indonesia, dan banyak tokoh besar dinegeri ini yang mendukung faham ini. Ahmadiyah, Syiah dan aliran sesat lainnya akan terlindungi jika faham ini dilegalkan di Indonesia,

    Balas

  3. Islam sebagai agama wahyu terakhir bertujuan untuk menciptakan rahmat bagi semesta alam, tidak peduli di zaman kejayaan maupun zaman kemunduran. Takbir, tahmid, tahlil yang diucapkan umat Islam di seluruh dunia inilah yang menahan alam semesta agar tidak cepat-cepat kiamat. Umat Islam wajib yakin agamanyalah yang paling benar, namun dalam batas-batas tertentu tetap toleran dan menghormati pemeluk agama lain.

    Balas

  4. bagaimana bagi mereka yang terlahir dari agama selain islam, bagaimana pula dengan yang tidak mengenal apa itu tuhan atau tidak mengenal Allah? lalu mereka mati, apakah mereka mati dalam keadaan tersesat atau dalam kesesatan?

    Balas

  5. agama islamlah yang benar bukan paling benar sebab jika kita bilang agama islam paling benar berrti secara tidak langsung kita bilang agama lain benar.

    Balas

Tinggalkan komentar