Kekeliruan Gerakan Takfiri di Indonesia (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)


Takfiri artinya ‘mengkafirkan’. Dalam konteks tulisan ini adalah mengkafirkan muslim yang mendukung atau sumpah setia berbakti kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Saat ini, pemikiran takfiri seperti ini sudah mulai muncul dalam gerakan; membentuk organisasi, memperkuat ideologi, melakukan rekrutmen, dan menyebarkan gagasan lewat buku dan jaringan dunia maya.

 Salah satu di antaranya adalah organisasi JAT (Jama’ah Anshorut Tauhid) yang dipimpin Abu Bakar Ba’asyir. Meski organisasi ini tidak secara langsung mengkafirkan semua umat Islam Indonesia yang tidak bergabung dengan JAT, juga secara organisasi belum bulat menyepakati pemikiran takfiri-nya, tetapi dua buku Tadzkiroh yang ditulis Abu Bakar Ba’asyir jelas menggambarkan pemikiran takfiri yang mulai disebarkan lewat sebuah gerakan. Dalam dua bukunya tersebut Abu Bakar Ba’asyir menyatakan “murtad” siapa saja yang terlibat dalam pemerintahan NKRI, mulai dari Presiden sampai Camat, MPR/DPR, hakim, jaksa, polisi dan tentara. Semuanya, seru Abu Bakar Ba’asyir harus bertaubat dengan cara melepaskan jabatannya. Bahkan, Abu Bakar Ba’asyir menyerukan kepada suami atau istri yang pasangannya terlibat dalam pemerintahan NKRI, jika tidak mau berlepas diri, untuk membatalkan pernikahannya, karena haram hukumnya mempertahankan pernikahan dengan orang kafir:

Kepada para istri-istri mereka agar mendesak suaminya bertaubat melepaskan jabatan dan berlepas diri dari MPR/DPR dan berlepas diri dari pimpinan thaghut. BILA SUAMINYA MENOLAK ISTRINYA HARUS PERGI MELEPASKAN DIRI DARI SUAMINYA, karena pernikahannya batal, sebab suaminya menjadi kafir, muslimah tidak sah menjadi istri orang kafir. (Abu Bakar Ba’asyir, Buku II Tadzkiroh, Jakarta: JAT Media Center, Cetakan I, Agustus 2012, hlm. 8-11. Cetak tebal dan huruf kapital dari kutipan aslinya).

Tokoh lain yang aktif menyebarkan pemikiran takfiri lewat sebuah gerakan adalah Abu Sulaiman Aman Abdurrahman yang sampai menilai PNS kafir karena sumpah jabatannya, bukan zat pekerjaannya. Jika itu MPR/DPR, hakim, jaksa, TNI, Polri, mereka dinilai kafir karena zat pekerjaannya, yakni mendukung pemerintahan thaghut. Sementara PNS zat pekerjaannya hanya melayani masyarakat, tetapi sumpahnya tetap kafir karena sumpah setia kepada thaghut (Ya..Mereka Memang Thaghut, Surabaya: Kafilah Syuhada, 2012. Buku ini diberi pengantar oleh Abu Bakar Ba’asyir. Tulisannya juga ada yang dimuat dalam Buku II Tadzkiroh Abu Bakar Ba’asyir, yakni yang berjudul Masihkah Kalian Ragu..? (Tentang Kafirnya N.K.R.I); Siapa Thaghut?; dan Konsekuensi Bagi Orang Murtad).

Sebelumnya ada buku Imam Samudra, Aku Melawan Teroris (Solo: Jazeera, 2004) yang juga mengkafirkan pemerintahan NKRI. Kelompok ini juga terang-terangan merekrut “calon-calon pengantin” untuk melakukan perbuatan makar/terorisme (dalam anggapan mereka ‘jihad’) di Indonesia.

Menurut Abu Bakar Ba’asyir, takfir yang ia sampaikan secara terang-terangan itu adalah bagian dari dakwah yang penting. Beliau memang tidak sampai pada pendapat bahwa pemerintahan NKRI harus diperangi atau dilawan dengan senjata, tetapi sebatas harus didakwahi. Dan dakwahnya itu adalah yang ia istilahkan “dakwah takfir”:

Maka takfir adalah bahan dakwah yang penting. Bila dakwah takfir ini diaktifkan banyak orang Islam yang tertolong dari terjerumus ke jurang kemurtadan/kekafiran tanpa sadar karena disesatkan oleh paham khowarij dan murjiah dan doktrin-doktrin thaghut. Maka takfir adalah materi dakwah terpuji selama memenuhi syarat-syaratnya, bukan perbuatan tercela seperti yang diisukan thaghut dan ulama-ulama murjiah/ulama suu’” (Pengantar Buku II Tadzkiroh, hlm. 5).

Syarat-syarat yang dimaksud oleh Abu Bakar Ba’asyir adalah jika tidak ada kebodohan dengan dua kriteria: (1) Bodoh karena baru masuk Islam dan (2) bodoh karena ia tinggal di tempat terpencil dan jauh dari kajian-kajian atau buku-buku agama. Sementara yang selain itu, alasan bodohnya tidak dapat diterima. Mereka meski tidak tahu tetap saja harus divonis kafir/takfir (Pengantar Buku II Tadzkiroh, hlm. 5-16).

Dalil-dalil yang dijadikan landasan untuk mengkafirkan muslim yang mendukung dan bersumpah setia kepada pemerintahan thaghut NKRI tersebut adalah:

Keputusan/hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. (QS. Yusuf [12] : 40)

Dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan (QS. al-Kahfi [18] : 26).

Dalil al-Qur`an lainnya yang dijadikan hujjah adalah QS. al-Ma`idah [5] : 1, ar-Ra’d [13] : 41, dan as-Syura [42] : 21. Ayat-ayat ini menjadi dalil bahwa kedaulatan hukum yang tidak ada pada Allah, melainkan manusia, menunjukkan syirik, dan berarti sudah murtad. NKRI menjadikan kedaulatan hukumnya ada pada tangan manusia, berarti syirik, murtad, pemerintahan thaghut (Buku II Tadzkiroh, hlm. 15).

Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS. al-Ma`idah [5] : 44).

Ayat lain yang dijadikan dalilnya adalah QS. al-Ma`idah [5] : 45, 47, an-Nahl [16] : 116, al-An’am [6] : 121, Yunus [10] : 59, as-Syura [42] : 10, dan an-Nisa` [4] : 59. Ayat-ayat ini menurut mereka merupakan dalil murtadnya orang yang menghukum dengan hukum Jahiliyyah dan membuang hukum Allah/syari’at Islam. Ayat 45 dan 47 surat al-Ma`idah juga merupakan penegasan bahwa selain kafir, orang seperti ini zhalim dan fasiq (Buku II Tadzkiroh, hlm. 21).

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya (QS. an-Nisa` [4] : 60).

Ayat lain yang dijadikan dalil adalah QS. al-Baqarah [2] : 256-257, al-Ma`idah [5] : 81, Ali ‘Imran [3] : 100-101. Ayat-ayat ini merupakan dalil bahwa yang mendukung hukum thaghut, yang tidak kufur kepada thaghut, berarti kufur kepada Allah. Sementara hukum NKRI adalah hukum thaghut. Konsekuensinya, pemerintah NKRI adalah pemerintah thaghut. Mendukungnya berarti kufur kepada Allah (Buku II Tadzkiroh, hlm. 26-27).

Kekeliruan Pemikiran Takfiri

Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa pemerintah NKRI dan yang bekerja langsung mendukungnya kafir karena, pertama, sudah menyekutukan Allah dalam menetapkan hukum, yakni kedaulatan hukum yang seharusnya milik Allah menjadi berada di tangan MPR/DPR. Kedua, menghukum dengan hukum Jahiliyyah dan membuang hukum Allah/syari’at Islam. Ketiga, mempertahankan sistem pemerintahan kafir/syirik yang dengan sendirinya sudah mempertahankan thaghut.

Pemikiran takfiri seperti itu jelas keliru ditinjau dari beberapa hal: (1) Terlalu mudah takfir tanpa tabayyun terlebih dahulu. (2) Salah menempatkan ayat-ayat al-Qur`an tentang kafir, yang seharusnya untuk orang kafir, ditujukan kepada orang beriman. (3) Menyamaratakan konsep kafir menjadi kafir akbar semata. Akibatnya yang masuk kategori kafir ashghar/amali pun dikategorikan kafir akbar dan dinyatakan murtad. (4) Keliru memahami konsep murtad yang seharusnya khuruj ‘minal-millah (keluar dari agama) menjadi dipersempit pada tidak menetapkan hukum Allah. (5) Memvonis thaghut kepada pemerintah NKRI dan menyamaratakan begitu saja semua muslim yang terlibat dalam pemerintahan sebagai pendukung thaghut. Dalam hal ini tampak pengingkaran mereka terhadap jasa perjuangan tokoh-tokoh Islam yang dari sejak sebelum kemerdekaan sampai masa kemerdekaan berjuang mati-matian menjadikan Negara ini Islami, meski memang belum berhasil secara kaffah.

Semua kekeliruan terkait pemikiran takfiri tersebut disebabkan gerakan takfiri tersebut salah dalam manhaj ilmu. Semestinya mereka menguraikan dasar-dasar aqidah Islam ini dengan merujuk pada al-Qur`an dengan manhaj tafsirnya, hadits dengan manhaj syarahnya, pemahaman para shahabat, dan mayoritas ulama yang tentunya Ahlus-Sunnah. Tetapi dalam tulisan-tulisan mereka yang takfiri tersebut, mereka tampak jelas luput menyertakan tafsir yang shahih dari setiap ayat yang dikutipnya. Tafsir shahih yang dimaksud adalah tafsir yang tidak hanya mengandalkan pemikiran pribadi semata/mujarradur-ra`yi (Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushulit-Tafsir, Beirut: Maktabah al-Hayah, 1980, jilid 2, hlm. 43), tetapi menyertakan penjelasan ayat-ayat lainnya, hadits Nabi saw, dan penjelasan para shahabat (Ibn Katsir, Muqaddimah Tafsir al-Qur`anil-‘Azhim). Mereka malah cenderung menafsirkan ayat-ayat tentang takfir dengan asumsinya sendiri.

Kelompok takfiri ini juga tidak merujukkan pemikirannya pada hadits-hadits shahih. Padahal tema takfir sudah dibahas sejak era shahabat, tabi’in, atba’ tabi’in, dan terus berlanjut pada era Imam al-Bukhari, Muslim, dan seterusnya oleh para ulama syarah hadits sesudah mereka. Demikian halnya, pendapat dan sikap para shahabat yang selalu sangat berhati-hati dalam takfir rupanya lupa untuk dirujuk. Dan terakhir mayoritas ulama, yakni ulama Ahlus-Sunnah yang juga luput dirujuk ke berbagai kitab mereka yang mu’tabar (otoritatif). Kalaupun ada dirujuk pendapat ulama, tampak masih terlalu dominan “tafsir pribadi” dari diri mereka sendiri atas pernyataan ulama-ulama tersebut. Misalnya Syaikh Ibn Baz yang mengkafirkan siapa yang tidak menghukum dengan hukum Allah swt, “ditafsirkan” oleh mereka secara pukul rata bahwa itu berarti pemerintah NKRI kafir (Buku II Tadzkiroh, hlm. 32). Padahal Syaikh Ibn Baz tidak sedang berbicara NKRI. Pernyataan Syaikh Ibn Baz tersebut normatif, sama dengan pernyataan ulama-ulama di MUI, Persis, NU, dan Muhammadiyah yang juga menyatakan kafir siapa saja yang tidak menetapkan hukum Allah. Tetapi tidak kemudian disimpulkan secara sembarangan bahwa pemerintah NKRI kafir. Menetapkan selain hukum Allah swt adalah satu hal, dan pemerintahan NKRI hal lain. Ini yang dimaksud masih terlalu dominan “tafsir pribadi” mereka atas fatwa ulama yang mereka kutip.

Takfir Tanpa Tabayyun

Pertama, terlalu mudah takfir tanpa tabayyun terlebih dahulu. Dalam takfir (vonis kafir) harus ditempuh terlebih dahulu tabayyun (mencari kejelasan dan kepastian) dan istitabah (meminta taubat). Untuk istitabah, kelompok takfiri, sebagaimana terbaca dalam Tadzkiroh Abu Bakar Ba’asyir, sudah melakukannya. Tetapi tabayyun, rupanya luput ditempuh.

Tabayyun dan istitabah ini memang wajib dilakukan terlebih dahulu sebab takfir akan mendatangkan konsekuensi hukum lanjutan seperti haram nikah dan waris, termasuk menjadi halal darah dan hartanya dalam perang. Maka dari itu Rasul saw mengancam siapa saja yang ceroboh memvonis kafir, sebagai orang kafir itu sendiri jika faktanya yang divonis kafir itu seorang muslim:

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ. فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ

Siapa saja yang menyebut kepada saudaranya: Hai Kafir, maka sungguh telah kena hal itu kepada salah seorang dari mereka. Jika memang benar apa yang dikatakan itu, maka benar, dan jika tidak, maka kekafiran itu kembali pada yang mengatakannya (Shahih Muslim kitab al-iman bab bayan hal iman man qala li akhihil-muslim ya kafir no. 225).

Jika baru hanya tanda-tandanya saja yang mengarah pada kekafiran, dan belum terbukti benar bahwa ia sudah terang-terangan menyatakan kafir, maka vonis kafir pun tetap haram untuk dinyatakan.

… قَالَ عِتْبَانُ فَثَابَ فِي الْبَيْتِ رِجَالٌ مِنْ أَهْلِ الدَّارِ ذَوُو عَدَدٍ فَاجْتَمَعُوا فَقَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ أَيْنَ مَالِكُ بْنُ الدُّخَيْشِنِ أَوِ ابْنُ الدُّخْشُنِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ ذَلِكَ مُنَافِقٌ لَا يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r لَا تَقُلْ ذَلِكَ أَلَا تَرَاهُ قَدْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يُرِيدُ بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّا نَرَى وَجْهَهُ وَنَصِيحَتَهُ إِلَى الْمُنَافِقِينَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ

‘Itban berkata: Orang-orang dari satu kampung berkumpul di rumah, jumlah mereka banyak. Lalu ada seseorang bertanya: “Di mana Malik ibnud-Dukhaisyin (ibnud-Dukhsyun)?” Dijawab oleh sebagian orang: “Dia orang munafiq yang tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Maka Rasulullah saw bersabda: “Kamu jangan berkata seperti itu. Bukankah kamu sudah pernah melihatnya mengatakan La ilaha illal-’Llah sembari berharap bisa berjumpa Allah.” Orang itu menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Akan tetapi kami melihat wajahnya dan perhatiannya cenderung kepada orang-orang munafiq.” Rasul menimpali: “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi mereka yang mengucapkan La ilaha illal-’Llah sembari berharap bisa berjumpa Allah.” (Shahih al-Bukhari kitab as-shalat bab al-masajid fil-buyut no. 425)

Maka dari itu al-Qur`an mewajibkan kaum muslimin untuk melakukan tabayyun (klarifikasi dan semacamnya) terlebih dahulu sebelum memvonis kafir.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu: “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. An-Nisa` [4] : 94).

Ibn Katsir meriwayatkan beberapa riwayat yang berbeda namun semakna terkait asbabun-nuzul (latar belakang turun) ayat ini. Di antaranya sebagaimana yang dijelaskan Ibn ‘Abbas, sebuah pasukan diutus oleh Nabi saw untuk memerangi satu kaum yang membahayakan umat Islam. Setibanya di tempat, kaum yang hendak diperangi tersebut sudah lari terlebih dahulu. Hanya tinggal tersisa seseorang yang ketika ditemukan ia mengucapkan syahadat. Al-Miqdad ibn al-Aswad kemudian membunuhnya karena berasumsi orang itu hanya hendak melindungi dirinya sendiri dengan syahadat palsu. Seorang shahabat lainnya saat itu menegur al-Miqdad atas perbuatan cerobohnya, dan ia pun melaporkannya kepada Rasulullah saw setibanya di Madinah. Rasul saw saat itu langsung saja menegur al-Miqdad, sebab sebagaimana sudah diajarkan Rasul saw, tidak boleh membunuh seseorang yang sudah mengucapkan la ilaha illal-’Llah. Tentang kebenaran ucapan tersebut, hisabnya diserahkan kepada Allah swt saja. Tidak lama dari itu, Rasul saw juga menjelaskan bahwa tidak mustahil orang yang dibunuh tadi sama seperti para shahabat dahulu ketika di Makkah, tidak berani bersyahadat karena takut dibunuh orang kafir, dan baru berani bersyahadat ketika orang-orang kafir tidak ada.

Artinya, kepada orang yang zhahirnya kafir lalu bersyahadat saja tidak boleh disebut kafir, apalagi kepada orang-orang yang memang dari asalnya sudah Islam; haram memvonis kafir kepada mereka karena mereka sudah jelas mengikrarkan Islam.

Maka semestinya yang harus dilakukan oleh kelompok takfiri adalah tabayyun dulu kepada semua pihak yang telah divonisnya kafir, apakah mereka benar-benar sudah berani mencabut syahadatnya? Benar-benar tidak beriman sedikit pun kepada Allah dan Rasul-Nya? Apakah mereka benar-benar menolak hukum Allah dan Rasul-Nya? Ataukah sebenarnya mereka hanya belum paham dan sadar akan kewajiban menegakkan hukum Allah? Sebab faktanya mayoritas pengelola pemerintahan ini masih tulus dalam Islamnya. Presiden SBY sampai marah di Sidang Umum PBB ketika Nabi Muhammad saw dihina oleh sebuah film di Amerika. MPR/DPR tidak menolak mentah-mentah undang-undang pernikahan, peradilan agama, waris, wakaf, zakat, haji, perbankan syari’ah, perekonomian syari’ah atau mahkamah syari’ah untuk Aceh. Kalau mereka semua memang kafir, tentu tidak akan ada sikap-sikap di atas. Bukankah semua ini menjadi bukti bahwa hukum Islam tidak ditolak mentah-mentah oleh negeri ini, sebab faktanya diakui dalam Piagam Jakarta yang menjadi bagian UUD ’45? Bukankah semua ini menjadi bukti bahwa sebenarnya pemerintahan NKRI tidak mengingkari Allah dan hukumnya? Hanya mungkin kesadaran untuk menegakkannya secara kaffah yang belum dimiliki. Dalam hal ini maka kembali pada sudah sejauhmana usaha dakwah yang dilakukan. Keberhasilan yang sudah diraih dalam perundang-undangan itu pertanda keberhasilan dakwah. Yang belum berhasil, berarti masih menjadi PR dakwah umat Islam. Dalam kaitan dakwah ini tentu tidak tepat jika harus ditempuh dengan dakwah takfir yang cenderung ceroboh. Dakwah seperti ini bukan mengajak, tetapi mengejek dan menjauhkan umat Islam dari Islam.

Keliru Menempatkan Ayat-ayat tentang Kafir

Kedua, keliru menempatkan ayat-ayat tentang kafir, yang semestinya untuk orang-orang kafir karena divonis tidak akan diampuni dosanya dan akan kekal di neraka, menjadi ditujukan kepada umat Islam. Perilaku seperti ini dahulu pernah dilakukan oleh Khawarij, yang disebut ahli bid’ah oleh para shahabat. Imam al-Bukhari misalnya menulis dalam kitab Shahihnya:

Imam al-Bukhari berkata: Bab membunuh Khawarij dan Mulhidin (keluar dari agama) sesudah mengemukakan hujjah kepada mereka dan firman Allah ta’ala: (Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi [9 : 115]). Dan Ibn ‘Umar menilai mereka sebagai makhluk Allah yang jahat. Ia berkata: “Sesungguhnya mereka menggunakan ayat-ayat yang ditujukan untuk orang kafir dengan menujukannya kepada orang-orang beriman.” (Shahih al-Bukhari kitab istitabatil-murtaddin wal-mu’anidin wa qitalihim).

Ayat-ayat yang dimaksud di antaranya ayat-ayat di atas yang dijadikan dalil oleh takfiri untuk memvonis kafir umat Islam Indonesia. Dalam kaitan manhaj ini, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan:

Al-Hafizh Ibn Hajar berkata: “Sebagian ahli bid’ah bersikukuh dalam klaim mereka bahwa pelaku maksiat yang masuk neraka tidak akan keluar darinya, berdasarkan firman Allah ta’ala (Dan siapa yang maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan [4 : 14]). Ahlus-Sunnah menjawab, bahwasanya ayat itu turun untuk orang kafir. Jika mencakup yang lebih luas dari itu, maka sungguh telah tetap dalil yang mengecualikan orang-orang yang bertauhid keluar dari neraka (Fathul-Bari kitab ar-riqaq bab shifat al-jannah wan-nar, ketika mensyarah hadits syafa’at).

Maksud al-Hafizh, firman Allah swt dalam QS. An-Nisa` [4] : 14 yang menyatakan siapa yang terang-terangan menolak hukum waris akan kekal di neraka, itu bukan untuk orang Islam, tetapi orang kafir. Sebab orang Islam, asalkan masih ada iman meski itu sangat sedikit, tidak akan kekal di neraka, melainkan akan dikeluarkan dari neraka pada saat-saat terakhir melalui syafa’at Nabi saw. Jadi kalau ada ayat-ayat yang memvonis kafir, kekal di neraka, tidak akan diampuni, itu konteksnya untuk orang kafir. Kalau ada di antara umat Islam yang berbuat hal yang sama dengan orang kafir dimaksud, maka itu tidak berarti kafir, tetapi “seperti orang kafir”. Hadits tentang syafa’at Nabi saw yang dimaksud di antaranya:

…فَأَقُولُ يَا رَبِّ أُمَّتِي أُمَّتِي فَيَقُولُ انْطَلِقْ فَأَخْرِجْ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ أَدْنَى أَدْنَى أَدْنَى مِثْقَالِ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ فَأَخْرِجْهُ مِنْ النَّارِ فَأَنْطَلِقُ فَأَفْعَلُ … ثُمَّ أَعُودُ الرَّابِعَةَ فَأَحْمَدُهُ بِتِلْكَ الْمَحَامِدِ ثُمَّ أَخِرُّ لَهُ سَاجِدًا فَيُقَالُ يَا مُحَمَّدُ ارْفَعْ رَأْسَكَ وَقُلْ يُسْمَعْ وَسَلْ تُعْطَهْ وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ فَأَقُولُ يَا رَبِّ ائْذَنْ لِي فِيمَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَيَقُولُ وَعِزَّتِي وَجَلَالِي وَكِبْرِيَائِي وَعَظَمَتِي لَأُخْرِجَنَّ مِنْهَا مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

…lalu aku (Nabi saw) berkata: “Wahai Rabb, umatku, umatku.” Allah berfirman: “Pergilah, keluarkanlah orang yang dalam hatinya masih ada keimanan yang lebih kecil, lebih kecil, lebih kecil dari berat biji sawi, keluarkanlah ia dari neraka!” Lalu aku pun pergi dan melakukannya… Kemudian aku kembali yang keempat kalinya. Aku memujinya dengan pujian-pujian itu, lalu aku tersungkur sujud. Lalu dipanggil: “Hai Muhammad, angkat kepalamu. Berbicaralah, kamu akan didengar. Mintalah, kamu akan diberi. Minta syafa’atlah, kamu akan diberi.” Lalu aku berkata: “Wahai Rabb, izinkalah untukku dalam hal orang yang mengucapkan la ilaha illal-‘Llah.” Allah berfirman: “Demi kegagahan-Ku, kemuliaan-Ku, kebesaran-Ku, dan keagungan-Ku, pasti Aku akan keluarkan dari neraka orang yang mengucapkan la ilaha illal-‘Llah.” (Shahih al-Bukhari kitab at-tauhid bab kalamir-Rabb yaumal-qiyamah ma’al-anbiya wa ghairihim no. 7510).

Dengan hadits ini jelas bahwa jika seorang muslim masih bersemayam dalam hatinya keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, itu berarti tidak kafir alias tidak akan kekal di neraka, meski ia masuk neraka terlebih dahulu. Maka dari itu jangan disamakan begitu saja orang muslim yang seperti kafir sebagai orang kafir. Sebab tidak benar jika kita mengatakan “keledai adalah kuda” hanya karena sama kakinya empat dan sebagai hewan angkutan. Ada ciri pokok lainnya yang membedakan keledai dan kuda sehingga tidak bisa disamakan begitu saja. Ciri pokok yang membedakan antara muslim dan kafir itu sendiri adalah keyakinan tidak ada tuhan selain Allah swt. Maka meskipun ada dari orang yang meyakini la ilaha illal-‘Llah tersebut perbuatan yang sama dengan orang kafir, jangan divonis kafir, sebab tetap ada ciri pokok yang membedakannya dengan orang kafir.

Keliru Memahami Konsep Kafir

Ketiga, kelompok takfiri telah keliru menyamaratakan konsep kafir menjadi kafir akbar semata. Padahal ayat-ayat dan hadits-hadits yang memberi vonis kafir tidak semuanya berstatus kafir akbar atau kafir yang sampai keluar dari agama Islam.

Dalam hal ini bisa dirujuk kitab Shahih al-Bukhari dalam kitab al-iman, dimana Imam al-Bukhari menuliskan tiga tarjamah terkait tema takfir ini. Berikut disajikan beserta ­syarah-nya:

بَاب كُفْرَانِ الْعَشِيرِ وَكُفْرٍ بَعْدَ كُفْرٍ فِيهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ r

29 – حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ r أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Bab: Kufur kepada Suami dan Satu Kufur di bawah Kufur Yang Lain. Dalam tema ini ada riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri dari Nabi saw

29- Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Zaid bin Aslam dari ‘Atha’ bin Yasar dari Ibnu ‘Abbas berkata, Nabi saw bersabda: “Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita, disebabkan mereka kufur“. Ditanyakan: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau bersabda: “Mereka kufur kepada suami, kufur terhadap kebaikan. Seandainya kamu berbuat baik terhadap seseorang dari mereka sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja kejelekan darimu maka dia akan berkata: ‘Aku belum pernah melihat kebaikan sedikitpun darimu“.

Imam al-Bukhari melalui tarjamah ini menunjukkan bahwa pernyataan kafir dalam hadits tidak otomatis kafir keluar dari Islam (khuruj minal-millah), sebab memang faktanya kafir itu bertingkat-tingkat. Hadits di atas sendiri menyebut maksiat dengan kafir, serupa dengan hadits-hadits sebelumnya yang menyebut ketaatan dengan iman. Artinya setiap kemaksiatan yang disebut kafir tidak otomatis kafir keluar dari agama, hanya sebatas maksiat. Demikian dijelaskan oleh Imam al-Qadli Ibnul-‘Arabi (Fathul-Bari).

بَاب الْمَعَاصِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ وَلَا يُكَفَّرُ صَاحِبُهَا بِارْتِكَابِهَا إِلَّا بِالشِّرْكِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ r إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ وَقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى{إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ}

30 – حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ وَاصِلٍ الْأَحْدَبِ عَنْ الْمَعْرُورِ قَالَ لَقِيتُ أَبَا ذَرٍّ بِالرَّبَذَةِ وَعَلَيْهِ حُلَّةٌ وَعَلَى غُلَامِهِ حُلَّةٌ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنِّي سَابَبْتُ رَجُلًا فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ فَقَالَ لِي النَّبِيُّ r يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمْ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ

Bab: Maksiat Termasuk Bagian Jahiliyyah, Tetapi Tidak Boleh Dikafirkan Pelakunya kecuali dengan Syirik, berdasarkan sabda Nabi saw: Sesungguhnya kamu orang yang ada dalam dirimu Jahiliyyah. Juga berdasarkan firman Allah ta’ala: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni syirik dan mengampuni lainnya bagi orang yang Dia kehendaki.

30- Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil Al Ahdab dari Al Ma’rur bin Suwaid berkata: Aku bertemu Abu Dzar di Rabdzah yang saat itu mengenakan pakaian dua lapis, begitu juga anaknya, maka aku tanyakan kepadanya tentang itu, maka dia menjawab: Aku telah menghina seseorang dengan cara menghina ibunya, maka Nabi saw menegurku: “Wahai Abu Dzar apakah kamu menghina ibunya? Sesungguhnya kamu orang yang ada dalam dirimu Jahiliyyah. Hamba sahayamu adalah saudara-saudara kalian, Allah telah menjadikan mereka di bawah tangan kalian. Maka siapa yang saudaranya berada di bawah tangannya (tanggungannya) maka jika ia makan berilah makanan seperti yang dia makan, bila ia berpakaian berilah seperti yang ia pakai, janganlah kalian membebani mereka sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka. Jika kalian menugaskan mereka, maka bantulah mereka.”

Tarjamah yang ditulis oleh Imam al-Bukhari di atas menunjukkan bahwa orang yang memiliki sifat/perangai kafir jahiliyyah hanya dikategorikan maksiat, bukan kafir yang tidak akan diampuni. Orang seperti ini juga tidak boleh divonis kafir keluar dari Islam, kecuali jika kekafirannya bersifat aqidah, yakni syirik.

Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan: “Inti dari tarjamah ini adalah maksiat yang dinyatakan kafir, kafirnya itu kafir majazi, bukan kafir yang sampai keluar dari agama.” (Fathul-Bari)

Selanjutnya al-Hafizh menjelaskan bahwa maksud syirik dalam firman Allah swt surat an-Nisa` di atas adalah kafir keluar dari Islam. Artinya, kalau kafirnya masih dalam tataran dosa dan maksiat maka ada peluang untuk diampuni. Sebagaimana dinyatakan Ibn Baththal: “Maksud al-Bukhari adalah membantah orang yang mengkafirkan pelaku dosa seperti Khawarij. Mereka berpendapat bahwa siapa yang mati dalam keadaan berdosa akan kekal di neraka. Sementara ayat di atas membantah keyakinan mereka tersebut. Sebab maksud firman-Nya: Dan mengampuni dosa selain itu bagi yang Dia kehendaki, adalah orang yang mati dalam keadaan berdosa selain syirik.” (Fathul-Bari)

Sementara hadits Abu Dzar menunjukkan bahwa sifat kafir jahiliyyah itu masih mungkin ada dalam diri seorang shahabat yang imannya tinggi sekalipun.  Artinya, pernyataan kafir dari Nabi saw/dalam hadits tidak otomatis berarti kafir keluar dari Islam, jika pada faktanya hanya dalam tataran maksiat (Fathul-Bari).

بَاب{وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا}فَسَمَّاهُمْ الْمُؤْمِنِينَ

31 – حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْمُبَارَكِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ وَيُونُسُ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ ذَهَبْتُ لِأَنْصُرَ هَذَا الرَّجُلَ فَلَقِيَنِي أَبُو بَكْرَةَ فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قُلْتُ أَنْصُرُ هَذَا الرَّجُلَ قَالَ ارْجِعْ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ r يَقُولُ إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

Bab: (Jika ada dua kelompok dari kaum mu`minin berperang maka damaikanlah di antara mereka) Maka Dia Menamai Mereka Mu`minin.

31- Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Al Mubarak Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid Telah menceritakan kepada kami Ayyub dan Yunus dari Al Hasan dari Al Ahnaf bin Qais berkata: Aku pergi untuk menolong lelaki itu (‘Ali ibn Abi Thalib pada waq’atul-Jamal). Tapi Abu Bakrah menemuiku dan bertanya: “Hendak ke mana kamu?” Aku menjawab: “Aku akan menolong lelaki itu.” Abu Bakrah menegah: “Pulanglah, karena sungguh aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: ‘Apabila dua orang muslim bertemu dengan membawa pedang, maka baik yang membunuh atau yang terbunuh sama masuk neraka.” Aku –Abu Bakrah- sempat bertanya: “Ini yang membunuh wajar, tapi kenapa yang terbunuh juga masuk neraka?” Beliau menjawab: “Karena ia juga bernafsu untuk membunuh sahabatnya.”

Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, Imam al-Bukhari ber-istidlal (berdalil) dengan ayat di atas (QS. al-Hujurat [49] : 9) bahwa orang yang melakukan maksiat—seperti saling membunuh—tidak kafir karena Allah swt masih tetap menyebut mereka “mu`min”. Dalam ayat selanjutnya (ayat 10) pun Allah swt masih tetap menyebut mereka “mu`min”. Demikian halnya dengan hadits di atas, Imam al-Bukhari ber-istidlal bahwa dua orang yang saling membunuh itu “muslim”, tidak sampai kafir keluar dari Islam, meski mereka diancam masuk neraka (Fathul-Bari).

Akan tetapi itu semua tidak berarti bahwa perbuatan-perbuatan dosa tersebut dianggap sepi begitu saja. Penyebutan istilah kafir untuk dosa dan maksiat itu sendiri adalah sebuah taghlizh (peringatan keras) agar manusia tidak menganggapnya sepele. Dalam hal ini, maka Imam al-Bukhari juga mencantumkan satu tarjamah khusus agar prinsip aqidah seperti ini tidak diselewengkan sebagaimana yang dilakukan oleh Murji`ah (berpendapat bahwa dosa ditangguhkan vonisnya dan diserahkan kepada Allah). Tarjamah yang dimaksud adalah:

بَاب خَوْفِ الْمُؤْمِنِ مِنْ أَنْ يَحْبَطَ عَمَلُهُ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ

48 – حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَرْعَرَةَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ زُبَيْدٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا وَائِلٍ عَنْ الْمُرْجِئَةِ فَقَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Bab: Takutnya Seorang Mu`min akan Kehancuran Amalnya dalam Keadaan Tidak Sadar.

48- Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ar’arah berkata, Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Zubaid berkata: Aku bertanya kepada Abu Wa’il tentang Murji`ah, maka dia menjawab: Telah menceritakan kepadaku Abdullah bahwa Nabi saw bersabda: “Mencaci orang muslim adalah fasiq dan memeranginya adalah kufur”.

Sebagaimana tampak dari latar belakang dialog antara tabi’in dan shahabat dalam hadits di atas, hadits ini jadi dalil untuk membantah Murji`ah. Maksudnya, keliru kalau ada yang berpendapat bahwa setiap dosa itu ditangguhkan vonisnya dan diserahkan kepada Allah. Nabi saw sudah mengajarkan bagaimana vonis dan kepastian hukum untuk semua pelaku dosa. Akan tetapi menurut al-Hafizh, keliru juga jika memahami hadits di atas secara ekstrem sebagaimana Khawarij, yang menarik kafir dalam hadits di atas sebagai kafir keluar dari Islam. Konsekuensinya, para shahabat yang pernah terlibat konflik perang berstatus kafir (Fathul-Bari). Semestinya, memahami hadits-hadits seperti di atas, tidak terjebak pada “ekstrem kiri” seperti halnya Murji`ah yang terlalu lunak, juga tidak terjebak pada “ekstrem kanan” sebagaimana halnya Khawarij yang terlalu keras. Yang benar sebagaimana para shahabat, memahami vonis kafir dalam hadits semacam di atas sebagai taghlizh (peringatan keras).

Uraian Imam al-Bukhari dan para ulama syarah hadits di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat al-Qur`an dan hadits yang menyatakan kafir tidak otomatis berarti kafir keluar dari Islam (khuruj minal-millah). Jika pernyataan kafir itu ditujukan pada amal maksiat, maka berarti kafir tersebut adalah taghlizh (peringatan keras). Maka dalam kerangka seperti inilah semestinya ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengkafirkan orang yang tidak menegakkan hukum Allah swt dipahami. Termasuk mereka yang meninggalkan shalat. Mereka semua bukan kafir murtad, tetapi kafir pelaku dosa besar yang tidak sampai keluar dari Islam. Sebab Nabi saw dalam hadits lainnya sudah menyebutkan bahwa kriteria kafir itu biwahan (terang-terangan) dan penjelasannya sudah ada dalam al-Qur`an:

قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ: دَعَانَا النَّبِيُّ r فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ: فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بِوَاحاً، عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ.

‘Ubadah ibn as-Shamit berkata: “Nabi saw memanggil kami lalu kami berbai’at kepadanya.” Ia melanjutkan: “Materi bai’at yang beliau ambil dari kami adalah kami berbai’at untuk senantiasa patuh dan taat, dalam keadaan senang dan benci, dalam keadaan sulit dan mudah, wajib mendahulukan pemimpin daripada kami, dan agar kami tidak mencabut urusan kepemimpinan dari yang berhaknya. Kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, dan kalian punya pegangan yang jelas dari Allah mengenainya.” (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab qaulin-Nabiy shallal-llahu ‘alaihi wa sallam satarauna ba’di umuran tunkirunaha, no. 6533)

Kufur terang-terangan atau kafir haqiqi (yang sebenar-benarnya kafir), dijelaskan Allah swt dalam surat an-Nisa` sebagai berikut:

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan (QS. an-Nisa` [4] : 150-151).

Inilah kafir haqiqi yakni yang dikategorikan khuruj minal-millah (keluar dari agama); Allah dan Rasul-rasul-Nya betul-betul diingkari, atau mengingkari dan membeda-bedakan keimanan kepada para Rasul, dan terang-terangan munafiq atau meninggalkan ajaran Allah dan Rasul-Nya secara total. Jika tidak sampai kafir seperti ayat ini, berarti kafirnya tidak haqqan (tidak sebenar-benarnya). Atau kafirnya tidak sampai murtad dan keluar dari agama Islam.

Maka dari itu, para ulama sudah sangat berhati-hati dalam urusan takfir ini dengan selalu membagi pengertian kufur pada dua bagian; kufur akbar (besar)/i’tiqadi (aqidah) yang benar-benar kufur, dan kufur ashghar (kecil)/amali (amal) yang tidak sampai kufur. Hal yang sama juga berlaku pada pengertian syirk, nifaq, dan bid’ah (mukaffarah dan ghair mukaffarah). Tidak berarti setiap vonis kafir, syirk, nifaq, dan bid’ah yang ditemukan dalam hadits otomatis merupakan vonis kafir dalam makna keluar dari Islam (khuruj minal-millah).

Bersambung…

Tinggalkan komentar