ATSAR DAKWAH DAN PENDIDIKAN RASULULLAH SAW


IMG1092AOleh : Asep Sobirin[1]

Dalam membaca tarikh atau sirah Nabawiyah umat merasa terbuai dengan heroisme Rasulullah Saw dan para sahabat di perang Badar atau berdecak kagum membaca fenomena ‘revolusi’ tanpa pertumpahan darah (Fathu Makkah), sehingga hal tersebut umat terpaku pada romantisme sejarah dengan tanpa ada realisasi untuk beruswah kepada Rasulullah Saw, atau ada sebagian umat yang mengikuti jejak langkah beliau tapi tanpa ada tahapan-tahapan yang jelas, maka mainstream yang jalan saat ini adalah konfrontasi secara langsung berhadapan dengan musuh, tanpa melihat kekuatan real (dari logistik sampai persenjataan) yang ada.[2]

Kiprah para sahabat pasca Nabi Saw wafat, mereka mampu melebarkan sayap dakwah, diataranya mengalahkan dua Negara adikuasa saat itu, yakni Romawi dan Persia, sehingga Islam menyebar ke seantero jagat raya. Lantas apa yang membuat para sahabat memenangkan pertempuran dengan mengorbankan harta dan jiwa? Ternyata hal tersebut tidak ujug-ujug, tapi itu merupakan atsar (jejak, bekas) dakwah dan pendidikan Rasulullah Saw, beliau menggembleng, menanamkan aqidah dan menancapkan keimanan dalam dada-dada kaum muslimin.

Para aktivis gerakan sosial di negara-negara berkembang, khususunya di Indonesia, seringkali merujuk buku-buku karya Paulo Freire (lahir 1921 – wafat 1997) atau karya-karya kaum kiri dalam upaya mendidik kaum tertindas. Padahal ada pendidikan yang lebih dahsyat yang pernah ada dibumi ini, yakni Pendidikan ala Nabi Muhammad Saw, pendidikannya melampaui batas pendidikan kritis ala Paulo Freire. Nabi Saw mampu membebaskan belenggu perbudakan manusia dan memerdekakan manusia dari menghambakan kepada berhala, menuju menghambakan hanya kepada Allah Swt semata.

Rasulullah Saw pada periode Makkah tidak langsung berkonfrontir dengan kafir Quraisy,[3] namun beliau melakukan rekrutmen, dakwah, kaderisisasi dan pendidikan. Dalam sirah nabawiyah kita baca Nabi Saw dakwah dalam dua fase, yakni dakwah sirriyah dan dakwah jahriyah. Dalam dakwah secara rahasia (sirriyatud da’wah) yang berlangsung selama tiga tahun, pertama beliau merekrut istrinya sendiri Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar As-shidiq dan setelah berkumpul sejumlah orang, Nabi Saw melakukan dakwah dan pendidikan di rumah Arqam bin Abil Arqam, yang kebanyakan mereka adalah kaum lemah. Muhammad Sa’id Ramdhan Al-Buthy (1999 : 7) [4] menyebutkan, Ketika orang-orang yang menganut Islam lebih tiga puluh lelaki dan wanita, Rasulullah memilih salah seorang dari mereka, yaitu rumah Al-Arqam bin Abil Arqam, sebagai tempat pertama untuk mengadakan pembinaan dan pengajaran. Dakwah pada tahap ini mengahsilkan sekitar empat puluh lelaki dan wanita penganut Islam. Kebanyakan mereka adalah orang-orang fakir, kaum budak, dan orang-orang Quraisy yang tidak memiliki kedudukan.

Siapakah Arqam bin Abi Arqam Al-Makhzumi Radiyallahu ‘Anhu? Raghib As-Sirjani (1995 : 27)[5] menjelaskan, dialah orang yang menyambut dengan hangat kedatangan dakwah Islam didalam rumahnya –padahal hal ini sangatlah berbahaya dan berisiko besar- selama tiga belas tahun penuh di kota Mekkah. Perlu diketahui pula bahwa Arqam berasal dari Bani Makhzum, yakni sebuah kabilah yang selalu bersaing untuk meraih pundi kemuliaan dengan Bani Hasyim. Namun, ia berani menyambut Rasulullah Saw yang berasal dari Bani Hasyim sebagai tamu didalam rumahnya.

Pemimpin kabilah Bani Makhzum adalah Abu Jahal sendiri, ia adalah durjana dan lalim; paling keji dan paling bengis di Kota Mekkah, kalau saja ia mengetahui ada anggota kabilahnya yang menyambut kedatangan Rasulullah Saw serta para Sahabat beliau didalam rumahnya, niscaya malapetaka besar dan musibah dahsyat akan menimpanya.

Meskipun demikian, Arqam bin Abu Arqam Radiyallahu ‘Anhu tetap menyambut kedatangan beliau diatas semua resiko ini. Dengan taruhan yang besar ini, ia korbankan dirinya demi membela Islam. Berpakah usia pahlawan yang agung ini dikala masuk Islam? Usianya baru menginjak enam belas tahun!.

Maka atsar (jejak, bekas) dakwah dan pendidikan Nabi Saw tersebut, melahirkan sahabat-sahabat yang siap membela Islam dan umat Islam, mereka dengan rela mempertahankan Aqidah walau penderitaan mendera atau bahkan walaupun mengahadapi maut di ujung pedang sekalipun; mereka rela meninggalkan rumah dan keluarga untuk hijrah ke Madinah; mereka rela mewakafkan diri dan mengorbankan segala potensi yang dimiliki, baik harta maupun jiwa, dengan begitu kita melihat generasi dengan militansi yang sangat hebat. Bahkan nilai-nilai yang terkandung dalam firman Allah dan lisan Nabi berbuah manis, dengan perluasan wilayah dan penyebaran agama yang diridoi Allah ini (QS. 3: 19) menjalar ke seantero jagat raya.

Pertanyannya adalah masihkan dakwah dan pendidikan Rasul itu membekas kepada umat Islam saat ini? Mari kita muhasabah dan menjawabnya dengan amal shaleh, menghidupkan Islam dengan berpijak kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. (Risalah No.12 TH. 49, Maret 2012, hlm. 70-71)


[1] Bid. Pendidikan PW. Pemuda Persis Jawa Barat

[2] Beberapa tahun yang lalu kita pernah menyaksikan di beberapa Televisi swasta dimana sekelompok umat Islam yang sedang berlatih dalam rangka jihad di medan tempur, siap di terjunkan dimedan laga bumi Palestina, yang hanya berbekal beladiri pencak silat dan tanpa dilengkapi dengan persenjataan modern serta tanpa dibekali dengan keahlian dibidang militer, mereka siap berhadapan dengan Israel yang bersembunyi di balik Tank-tank dan pesawat tempur super canggih, serta senjata nuklir yang mereka sembunyikan.

[3] Karena dalam masa ini, umat Islam masih sedikit dan lemah. Adapun ketika di Madinah, Nabi Saw dan para sahabat melakukan perlawanan, hal tersebut terjadi setelah ada kekuatan yang terpadu dikalangan umat Islam setelah terjalinnya ukhuwah Muhajirin dan Anshar. Dari sini kita bisa mengambil ibrah bahwa ketika umat Islam lemah, maka jangan dulu berkonfrontir, tapi ketika umat ini kuat, maka tidak ada alasan untuk berpangku tangan (QS. 47: 35)

[4] Muhammad Sa’id Ramdhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah Saw (Jakarta: Robbani Press, 1999), hlm. 7.

[5] Raghib As-Sirjani, Menjadi Pemuda Peka Zaman Langkah-langkah Menjadi Generasi Idaman (Solo: Aqwam, 1995), hlm. 27.

Tinggalkan komentar