ZUHUD SOLUSI UNTUK TIDAK KORUPSI


Oleh : Syarif Hidayat

Diantara tema akhlak yang menarik adalah zuhud. Zuhud merupakan sikap mendahulukan urusan akhirat daripada duniawi. Namun sayang, tidak sedikit umat Islam yang kurang memahami hakikat makna ini. Terkadang mereka mengasumsikan zuhud sebagai anti kekayaan dan mengidentikkannya dengan kemiskinan dan serba kekurangan. Padahal, orang zuhud tidak mesti orang yang fakir miskin saja. Zuhud sejatinya adalah sikap yang dapat dimiliki setiap orang, entah orang kaya ataupun orang miskin. Karena pada hakikatnya zuhud merupakan sikap menjauhi sifat serakah. Keserakahan terhadap harta benda dan jabatan yang seringkali menjerumuskan orang kepada kebinasaan.

Rasulullah shallallǎh ‘alaihi wa sallam mensinyalir bahwa karakter dasar manusia itu serakah. Beliau bersabda, “Sekiranya anak Adam mempunyai satu lembah emas niscaya ia berambisi memiliki dua lembah emas. Dan tiada yang bisa memenuhi mulutnya selain tanah, dan Allah akan menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya.” (Hadits Muttafaq ‘alaihi dari Anas ibn Malik RA). Sehingga, Imam al-Ghazali di dalam Minhǎj al-‘Âbidîn menerangkan bahwa jika kenyataannya secara lahir kita sibuk berusaha mencari dunia dan secara batin kita berambisi untuk memperolehnya, niscaya untuk memenuhi hak-hak ibadah menjadi pekerjaan yang amat sulit bagi kita. Adapun memiliki sikap zuhud akan membuat suasana lahir dan batin kita menjadi lapang, mudah beribadah, bahkan seluruh anggota tubuh akan membantu ibadah kita, hanya dengan memupuk sikap zuhud tersebut.”

Dorongan untuk memupuk harta bersumber dari hawa nafsu yang tidak terkendali. Dorongan inilah yang kemudian membuat sebagian orang menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Karena itu, Abu Hasan al-Mawardi menyebutkan, “Adapun hawa nafsu merupakan penghalang bagi kebaikan dan penentang akal pikiran, darinya timbul akhlak yang buruk dan pekerjaan yang hina, sehingga membuat reputasi orang menjadi rusak dan jalan menuju kejahatan menjadi lancar.”

Dengan demikian, ketika orang sudah tidak mempedulikan halal-haram dalam mencari rejeki berarti secara tidak sadar ia telah menuhankan hawa nafsunya. Penuhanan seperti ini menyebabkan orang tidak lagi memiliki nurani yang sehat. Ketika ia dengan mudah mendapatkan rupiah hasil korupsi umpamanya, sementara yang lain harus banting tulang peras keringat hanya untuk memperoleh rejeki yang pas-pasan, maka pada hakikatnya orang tersebut sudah kehilangan pancaran nuraninya. Pantas kalau kemudian Abdullah ibn Abbas RA. sebagaimana dikutip oleh al-Mawardi di dalam Adab al-Dunyǎ wa al-Dîn menegaskan bahwa hawa nafsu adalah tuhan selain Allah yang suka disembah, seraya beliau membacakan ayat: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Q.S. Al-Jatsiyah, ayat 23)

  Fenomena korupsi yang kian hari semakin menjadi-jadi sejatinya diatasi dengan kesadaran diri bahwa kenikmatan hakiki bukan pada harta benda yang berlimpah melainkan pada kekayaan hati, sebagaimana sabda Rasulullah shallallǎh ‘alaihi wa sallam, “Kekayaan itu bukan disebabkan banyaknya harta melainkan pada kayanya jiwa. (Hadits Muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairah RA). Sedangkan kekayaan jiwa muncul tiada lain kembali kepada konsep zuhud diatas. Hal ini paling tidak seperti yang diceritakan Imam al-Ghazali bahwa Salman al-Farisi RA bertutur, “Jika seorang hamba telah mampu berzuhud terhadap dunia, maka hatinya akan bersinar penuh hikmah; dan anggota badannya akan saling membantu dalam mengerjakan ibadah.”

Untuk itu, Imam al-Ghazali menguraikan bahwa zuhud itu ada dua kategori, yaitu zuhud yang berada dalam kapabiltas manusia dan zuhud yang diluar kapabilitas tersebut. Jika seseorang sudah, pertama, tidak lagi mengejar kesenangan dunia yang luput darinya; kedua, mau berbagi kesenangan dunia yang ia miliki kepada sesama; dan ketiga, hatinya tidak lagi berhasrat dan punya niat untuk meraih kesenangan dunia, yang kesemuanya dimaksudkan untuk meraih ridla Allah dan pahala-Nya yang agung dengan banyak mengingat madharat-madharatnya, maka ketika itu berarti ia telah dikaruniai rasa ketidak-inginan terhadap dunia. Dan menurutku, kata al-Ghazali, rasa ketidak-inginan inilah zuhud yang sebenarnya.

Setelah memiliki sifat zuhud orang akan sadar bahwa tiada guna dan manfaatnya ia melakukan korupsi. Sebab, pada kenyataannya hal paling didambakan setiap orang adalah ketenangan batin. Hidup kian terasa tidak nyaman manakala batin semakin menderita. Walaupun hasil korupsi itu ia gunakan untuk beribadah haji berulang-ulang, namun ibarat mandi dengan air kotor, maka kebersihan hati pasti tidak akan didapatkan. Dengan kesadaran seperti itu orang akan berpikir seribu kali untuk menjadi koruptor. Karena itu, zuhud menuntun orang menjauhi hal-hal yang sekiranya tidak akan memberi manfaat bagi kehidupannya kelak di akhirat. Pengertian ini jauh lebih dalam daripada sekedar bersikap wara (orang yang berhai-hati terhadap hal yang haram). Kata Syekh Utsaimin, setiap orang yang zuhud pasti memiliki sifat wara, tetapi tidak setiap orang wara menjadi zuhud. Sebab, wara hanya menjauhi perkara yang dapat menimbulkan kesulitan atau kemadharatan di akhirat nanti, sementara zuhud adalah kemampuan menjauhi perkara yang tidak berguna bagi kehidupan di akhirat. Jadi, zuhud lebih luhur ketimbang sifat wara, sehingga wajar bila zuhud telah menjadi pedoman hidup seseorang maka alih-alih perkara haram atau syubhat, bahkan perkara yang tidak memberikan nilai manfaat untuk akhirat saja ia tinggalkan. Walhasil, korupsi tidak akan pernah ia lakukan karena korupsi bukan hanya merugikan di akhirat tetapi juga membinasakan di dunia.

Hal ini tentu bukan berarti kita tidak boleh memiliki kekayaan, karena pada dasarnya Islam menghargai hak milik individu. Namun demikian, kekayaan tidak membuatnya buta terhadap aturan Allah. Abu Bakar adalah orang berada tetapi tidak ada yang meragukannya sebagai orang yang zuhud. Demikian pula, Utsman dan Abdurrahman ibn Auf merupakan sederatan orang kaya pada zaman Nabi, akan tetapi mereka tidak pernah melakukan cara-cara yang diharamkan Allah dalam memperoleh harta kekayaannya itu. Malah sebaliknya kekayaannya menjadi wasilah meraih ridla Allah. Oleh karena itu, Allah mengingatkan, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash, ayat 77)

Akhiran, zuhud bukan berarti kemiskinan tetapi zuhud adalah adab terhadap kekayaan dengan cara yang diridlai Allah ketika mencari, memperoleh, dan menyalurkannya. Wallahu a’lam bi al-shawwab!

(Penulis adalah Ketua PW. Pemuda Persis Jawa Barat)

Tinggalkan komentar